Jumat, 04 Desember 2009

Rufaidah Binti Sa'ad Al-Aslamiya

Rufaidah Binti Sa’ad Al-Aslamiya tercatat perawat muslimah pertama dalam sejarah Islam yang nyaris terlupakan, padahal jasanya besar sekali pada masa penyebaran Islam. Perempuan kelahiran Madinah ini mempelajari ilmu keperawatan saat membantu ayahnya yang berprofesi dokter. Ilmunya lantas dipraktekkan untuk mengobati kaum muslimin yang terluka dalam peperangan dengan mendirikan rumah sakit lapangan. Pada saat damai (tidak ada perang), Rufaidah secara sukarela membangun tenda di luar Masjid Nabawi untuk melayani orang sakit, anak yatim dan penderita gangguan jiwa.

Kesibukan Rufaidah sebagai ibu rumah tangga tidak menghalanginya berkarir melatih beberapa kelompok perempuan untuk menjadi perawat. Dia menjadi pemimpin, organisatoris yang mampu memobilisasi dan memotivasi orang lain serta perawat teladan, baik dan berempati tinggi. Dia tidak hanya menunaikan peran perawat dalam aspek klinikal semata, namun melaksanakan peran komunitas dan memecahkan masalah sosial yang dapat mengakibatkan timbulnya berbagai macam penyakit. Singkat cerita, Rufaidah sesungguhnya public health nurse dan social worker, yang menjadi inspirasi bagi profesi perawat di dunia Islam. Rasulullah pun memuji kiprahnya bagi masyarakat.

Dalam bidang lain, tersebutlah nama Asy-Syifa’ binti Al-Harits. Asy-Syifa’ termasuk wanita cerdas yang dikenal sebagai guru dalam membaca dan menulis serta ahli ruqyah (pengobatan) sebelum datangnya Islam. Sesudah memeluk Islam, dia tetap memberikan pengajaran kepada kaum perempuan. Oleh karena itu, dia disebut sebagai guru (ulama) wanita pertama dalam Islam. Di antara muridnya bernama Hafshah binti Umar bin Khattab. Kesibukan mengurus suami dan mendidik seorang anak tidak membuat Asy-Syifa’ lupa untuk menuntut ilmu hadis kepada Rasulullah, kemudian menyebarkannya sembari menyelipkan nasehat-nasehat bagi umat Islam. Bahkan, Khalifah Umar bin Khattab sering meminta pendapat Asy-Syifa’ tentang urusan agama dan dunia.

Lain Asy-Syifa’ lain Ummu Hani’. Selain pandai berdiplomasi, Ummu Hani’ binti Abi Thalib Al-Hasyimiyyah kesohor sebagai penunggang unta yang hebat, periwayat dan pengajar hadis hingga akhir hidupnya. Ummu Hani’ mengerti betul tugasnya selaku istri yang mengagungkan hak-hak suami dan mengasuh keempat anaknya. Baginya, mengurus mereka membutuhkan perhatian yang menyita waktu banyak. Karena itu, dia tak ingin menyia-nyiakan satu pun dari keduanya, hingga dia mendapatkan pujian yang begitu mulia dari Rasulullah sebagai perempuan penyayang keluarga. Pada saat yang sama, Ummu Hani’ pun tidak lupa berperan di tengah masyarakat.

Jasa Hafshah binti Umar bin Khattab juga tidak boleh diremehkan. Dia memiliki keberanian, kepribadian kuat dan ucapannya tegas. Kelebihan lainnya berupa kepandaian dalam membaca dan menulis, padahal ketika itu kemampuan tersebut belum lazim dimiliki kaum perempuan. Bahkan, dia satu-satunya istri Rasulullah yang pandai membaca dan menulis. Atas dasar hal tersebut, Hafshah sebagai orang yang pertama kali diperintahkan oleh khalifah Abu Bakar Siddiq untuk mengumpulkan tulisan ayat-ayat Al-Quran yang masih berserakan di banyak tempat pada lembaran kulit, tulang dan pelepah kurma sekaligus menyimpan dan memeliharanya. Mushaf asli Al-Quran itu berada di rumah Hafshah hingga dia meninggal dunia.

Ketika Rasulullah mengalami rintangan dan gangguan dari kaum kafir Quraisy, maka Khadijah Binti Khuwailid selalu berada di sampingnya untuk menenangkan sekaligus menyenangkan hatinya yang gundah. Khadijah juga mendukung perjuangan suaminya dengan sepenuh jiwa raga dan menyerahkan seluruh harta benda yang dimilikinya. Sebagai pebisnis muslimah sukses yang dermawan, wanita terbaik di dunia ini memang setia, taat dan sayang kepada suami dan anak-anaknya. Khadijah selalu menyiapkan makanan, minuman dan segala keperluan Rasulullah serta mendidik putra putrinya dengan teladan dan penuh kesadaran.

Kisah lebih heroik terjadi pada Ummu ‘Umarah. Ummu ‘Umarah bersama suami dan kedua putranya ikut dalam Perang Uhud yang berlangsung dahsyat. Ketika pasukan kaum muslimin tercerai berai, Ummu ‘Umarah justru mendekati Rasulullah, bermaksud melindungi di depannya dengan menggunakan pedang. Namun, Ummu ‘Umarah beberapa kali terkena sabetan pedang yaang ditebarkan pasukan musuh. Luka yang paling besar terdapat di pundaknya, karena ditikam Ibnu Qami’ah, hingga dia harus mengobati luka itu setahun lamanya. Pada masa khalifah Abu Bakar Siddiq, Ummu ‘Umarah juga ikut memerangi Musailamah Al-Kadzdzab yang mengaku nabi. Di sinilah Ummu ‘Umarah terpotong tangannya dan kehilangan seorang putranya yang terbunuh.

Fakta-fakta di atas menunjukkan, para perempuan jelas telah mengukir prestasi dalam sejarah Islam dengan kemampuan, ilmu dan caranya sendiri yang hingga kini patut diteladani. Di sisi lain, sebagian contoh kecil tersebut bisa membuka mata orang-orang (Barat) yang menganggap bahwa masa lalu Islam selalu dikaitan dengan citra kekerasan, aneka peperangan, lika-liku pertumpahan darah atau cerita adu senjata. Dr. KH. Ahmad Mukri Aji, MA, MH, dosen Pasca Sarjana Universitas Ibnu Khaldun, Bogor, mengungkapkan, sebetulnya banyak sekali jumlah perempuan yang berkarir pada zaman Rasulullah dan Rasulullah tidak melarangnya.

“Misalnya ada perempuan yang menghapal Al-Quran, menuliskan ayat-ayat Al-Quran pada pelepah kurma atau tulang, beternak, berdagang, memacu kuda, dan memanah. Itu kan bukan pekerjaan yang gampang, karena mereka juga tidak meninggalkan tugas utamanya sebagai seorang istri dan ibu rumah tangga. Hanya saja, dikaitkan dengan konteks masa kini, setiap perempuan jangan sampai dipaksakan. Artinya, jika bidang atau dunia itu bukan habitatnya, ya jangan diperintah untuk mengerjakan,” ujar Mukri Aji sembari melempar senyum.

sumber:
Husin, Ma'rifin. 2001. Keperawatan Islam. Jakarta: UMJ Press